Konsep Dasar Keislaman, Part 2
Hadits yang telah ditulis pada tulisan konsep dasar keislaman part 1 hanya menjelaskan objek-objek terpenting dari keimanan. Tetapi tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan iman. Karena itu, ada baiknya disini diketengahkan sedikit penjelasan tentang tentang iman, walau sejak awal harus digaris bawahi bahwa iman sangat sulit digambarkan hakikatnya. Ia dirasakan oleh seseorang, tetapi sulit baginya (apalagi bagi orang lain) melukiskan perasaan itu. Iman bagaikan rasa kagum atau cinta, yang hanya dirasakan oleh si pecinta atau si pengagum.
Dari segi pengertian bahasa, iman bisa diartikan dengan pembenaran. Sebagian pakar mengartikan sebagai pembenaran hati terhadap apa yang didengar telinga. Dengan demikian, pembenaran akal saja tidak cukup bahkan yang lebih penting adalah pembenaran hati. Dari sudut pandang islam, tidak semua pembenaran dinamai iman. Iman terbatas pada pembenaran menyangkut apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw yang pokok-pokoknya tergambar dalam rukun iman yang enam.
Sebagian pakar melukiskan keadaan seseorang yang beriman, bagaikan seseorang yang sedang mendayung perahu ditengah samudra dengan ombak dan gelombang yang dahsyat lagi bergemuruh. Nun jauh disana, tampak remang-remang pulau yang dituju. Pada saat berada ditengah samudra tersebut, pasti timbul dalam benak si pendayung suatu ketidakpastian/keraguan yang menimbulkan tanda tanya : "Dapatkah tiba dipulau yang dituju itu?" Nah, demikian pula halnya dengan iman, Akan timbul aneka tanda tanya dalam benak orang yang beriman tentang objek-objek keimanannya.
Tanda tanya ini akan selalu muncul sebelum sampai ke pulau yang dituju, yakni sebelum datangnya kematian. Karena itu argumentasi akal selalu saja dibarengi oleh tanda tanya yang dapat merapuhkan argumentasi itu. Karena itu pula, sebagian pakar, seperti Syaikh 'Abdul Halim Mahmud (1910-1978 M), mengingatkan agar tidak perlu bertepuk tangan kepada akal yang bisa membuktikan objek keimanan, termasuk keimanan tentang wujud Tuhan, sebab akal pun dapat membuktikan yang sebaliknya. William James (1840-1910), filosof dan ahli psikologi agama Amerika (jauh sebelum Syaikh 'Abdul Halim) juga berpendapat serupa: "Kita percaya tentang wujud Tuhan, bukan karena secara rasional Dia dapat dibuktikan, tetapi karena kita merasakan kehadiran-Nya." Filosof lain mengingatkan bahwa seberapa pun kuatnya satu dalil (dalam metafisika) selalu saja saat dilakukan analisis lebih jauh terhadap argumen itu, muncul sekian dugaan tentang kekeliruannya. Karena itu, iman harus melampaui semua bukti rasional. Disisi lain, perkembangan ilmu menunjukkan bahwa sekian banyak dari apa yang disepakati kebenarannya pada satu masa, ternyata terbukti kesalahannya pada masa yang lain, sehingga kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang disepakati oleh ilmuan pada satu masa dan siap untuk dibatalkan pada masa yang lain. Bisa dikatakan bahwa kebenaran ilmiah bersifat relatif.
Demikian lebih kurang gambaran tentang arti dan hakikat iman. Perlu dicatat bahwa iman berbeda dengan ilmu. Bisa saja seseorang tahu, tetapi dia tidak percaya, dan bisa juga seorang percaya walau dia tidak tahu. Ini karena ilmu bersumber pada akal dan iman bersumber pada kalbu. "Ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi san akselerasi, sedangkan iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedangkan iman adalah revolusi internal. Baik ilmu maupun iman, keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu terpisah sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah keindahan dan hiasan; ilmu adalah keindahan akal sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan pikiran dan iman hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan; ketenangan lahiriah oleh ilmu dan ketenangan batin oleh iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malapetaka duniawi, sedangkan iman memelihara dari penyakit-penyakit rohani dan kompleks-kompleks kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman menyesuaikan manusia dengan jati dirinya". Demikianlah lebih kurang gambaran yang diberikan Murtadha Muthahhari.
Iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang percaya tanpa sedikit argumen pun. Dia percaya karena kebetulan objek kepercayaan sesuai dengan kecendrungan hatinya. Seperti halnya seseorang yang sangat mencintai seorang gadis, dia segera akan membenarkan dan memercayai siapa yang menyampaikan kepadanya bahwa si gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, kendati yang menyampaikan kabar itu tidak memberi bukti-bukti sedikit pun. Sebagian manusia (khususnya orang awam) seperti itulah keadaan imannya.
Iman yang lebih tinggi kualitasnya dari yang disebut diatas adalah yang percaya walau dengan sedikit bukti, kendati bukti itu sebenarnya rapuh bila dianalisis. Dan iman yang tertinggi tentunya adalah yang keimanannya didukung oleh argumen yang sangat kuat dan tidak tergoyangkan, serta didukung oleh pengalaman rohani yang meyakinkan.
Puncak iman adalah apa yang dinamai (يقين) yaqin, yakni pengetahuan yang mantap tentang sesuatu dibarengi dengan tersingkirnya apa yang mengeruhkan pengetahuan tersebut, baik berupa keraguan maupun dalih-dalih yang dikemukakan lawan. Itu sebabnya pengetahuan Allah swt tidak dinamai "Mencapai tingkat yaqin," karena pengetahuan Yang Maha Mengetahui itu sedemikian jelas sehingga tidak pernah sesaat atau sedikitpun disentuh oleh keraguan. Berbeda dengan manusia yang yaqin, sebelum tiba keyakinannya, telebih dahulu ia disentuh oleh keraguan, tetapi ketika dia sampai pada tahap yaqin, maka keraguan yang tadinya ada langsung sirna. Ini disebabkan karena keyakinannya sedemikian sempurna bagaikan dia telah melihat dengan mata kepala sendiri objek-objek keimanannya, sebelum objek itu sendiri terungkap.*
*Diambil dari buku Membumikan Al Qur'an jilid 2, Karya : M. Quraish Shihab hal 17-22.
Posting Komentar untuk "Konsep Dasar Keislaman, Part 2"