Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ahwal dalam Tasawuf

1.  Macam-Macam Ahwal
1.1.  Muraqabah
Muraqabah adalah merasakan bahwa Allah  memperhatikan diri kita. Secara literal, muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini,tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya. Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan al-Darani yang menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa yang ada di dalam hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah berikan kedalamnya. 
Menurut al-Sarraj, ahli muraqabah itu dalam muraqabahnya terbagi atas tiga tingakatan. 
a.  Tingkatan Pertama
Adalah tingkatan ibtida’. Kelompok ini seperti yang disebut Hasan ibn ‘Ali al-Damaghani bahwa bagi sang hamba hendaknya senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karana Allah selalu mengawasi setiap apa-apa yang tersirat dalam batin.
b.  Tingkatan Kedua
Dalam muraqabah di tunjukkan oleh ibn ‘Atha yang mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang senntiasa mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti nabi Muhammad SAW. Dalam perbuatan, akhlak dan adabnya. Artinya, sang hamba memilki kesadaran penuh bahwa sebaik pengawasan adalah pengawasan Allah, tidak nsedikitpun terbesit adannya pengawasan yang lain , dan bagi hamba hendaknya ia lebur bersama-Nya.
c.  Tingkatan Ketiga
Dari ahli muraqabah adalah hal-al kubara’ (orang-orang agung), yakni mereka yang senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam muraqabah dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia itu untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada selain diri-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka, seperti firman-Nya, : “Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”.  (QS. Al-A’raf:196).

1.2.   Mahabbah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabbah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam prespektif tasawuf, mahabbah bisa di telusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainnya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinnya.
Namun cinta, menurut orang-orang awam ialah sulit didefinisikan. Syaikh Ibnu Arabi al-Hatimi berkata, “Orang-orang berbeda pendapat dalam mendefinisikan cinta. Tidak ada seorang pun yang aku dapatkan bisa mendefinisikannya dengan definisi sebenarnya. Hal yang paling baik yang pernah aku dengar tentang cinta adalah yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang kepada kami dari Abu Abbas ash-Shanhaji, bahwa beliau telah ditanya tentang muhabbah (cinta). Beliau berkata, ‘Cemburu merupakan salah satu sifat dari cinta. Dan cemburu menyebabkan ketertutupan. Oleh karena itu, dia tidak dapat didefinisikan’.”
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (Qs. al-Ali’Imran:31)
Ibnu Dibagh berkata, “Sesungguhnya cinta tidak dapat diungkapkan hakikatnya kecuali oleh orang yang merasakannya. Dan ini merupakan perkara yang tidak mungkin diungkapkan. Adapun perbedaan antara mabuk cinta dengan  mabuk yang disebabkan minuman keras. Seorang Penyair berkata :

Orang yang mabuk karena khamar akan sadar
Dan orang yang mabuk karena cinta akan mabuk selamanya
Beberapa Sebab Timbulnya Cinta:
Membaca Al-Qur’an dan memahaminya.
Mendekatkan diri pada Allah dengan menjalankan yang sunnah.
Selalu Berdzikir kepada Allah.
Hati yang selalu mengingat nama-namaNyadan Sifat-sifatNya
Merasa hina dan rendah diri dihadapanNya.
Bergaul dengan orang-orang yang benar-benar mencintai Allah.
Menjauhi apa-apa yang dapat melepaskan ikatan antara hati dan Allah.
Dengan sebab-sebab diatas dan yang lainnya. Orang-orang yang mencinta akan sampai pada tingkatan cinta (Muhabbah).

1.3.  Khauf (Ketaukutan)
Khauf (Ketakutan) adalah cambuk yang digunakan oleh Allah untuk menggiring hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal untuk  mendapatkan tempat yang dekat dengan Allah.
Khauf (ketakutan) bias mencegah anggota badan berbuat maksiat dan mengikatnya dengan ketaatan. Khauf yang terbatas bias mendorong orang untuk lalai dan berani berbuat dosa. Sedangkan khauf yang berlebihan bias mendorong orang merasa frustasi dan putus asa. Khauf kepada Alah bisa timbul dengan cara mengenal Allah dan mengenal sifat-sifatNya; bahwa Dia bias membinasakan alam semesta ini tanpa peduli dan tidak ada yang bias mencegahNya.
Semakin banyak pengetahuan seseorang tentang kekurangan dirinya dan tentang kebesaran serta kekayaan Allah, maka khaufnya akan semakin kuat. Orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling tahu   tentang dirinya   dan Rabbnya. Karena itu nabi bersabda :
        “Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan paling takut kepadaNya "

1.3.1.      Tingkatan-Tingkatan Khauf
Khauf ada yang terbatas, ada yang berlebihan da nada yang wajar. Khauf yang terpuji adalah yang wajar dan sedang. Khauf yang terbatas (sedikit) adalah khauf yang berjalan seperti kelembutan perasaan wanita. Ketika mendengar ayat Al Qur’an, rasa takut itu dating kemudian melahirkan tangis dan linangan air mata. Begitu juga ketika menyaksikan sesuatu yang mengerian. Tetapi begitu hal itu hilang dari indera, hati kembali lalai.
Inilah yang dimaksud dengan khauf terbatas, sedikit gunanya dan lemah manfaatnya. Ia seperti tongkat yang lembek yang digunakan untuk memukul binatang yang kuat. Ia tak menimbulkan rasa sakit yang berarti, sehingga tidak bisa menggiringnya menuju tujuan dan melatihnya. Demikianlah khauf yang dimiliki manusia, kecuali para ulama yang mengenal dirinya dan Rabbnya.
Al Fhudail bin Iyadh ra berkata :” Jika engkau ditanya : ’Apakah engkau takut kepada Allah?’ Maka kalau engkau menjawab : ‘Tidak, ’ berarti engkau telah kafir dan bila engkau menjawab : ‘ Ya,’ berarti engkau telah berdusta.”
Sedangkan khauf yang berlebihan adalah khauf yang melampaui batas sehingga membuat orang putus asa dan frustasi. Khauf semacam ini juga tercela, sehingga bisa membuat orang enggan beramal. 

1.4.  Raja’ (Harapan)
Raja’ (harapan) adalah rasa nyaman di dalam hati untuk menunggu desuatu yang disukai. Jika factor penyebabnya tidak ada, itu disebut ghurur (ilusi). Jika yang ditunggu adalah sesuatu yang pasti maka itu tidak disebut raja’ (harapan). Karena kita tidak dapat mengatakan : “Aku mengharapkan terbitnya matahari.” Tetapi kita bisa mengatakan: “Aku mengharapkan turunya hujan.”
Orang yang mengharap hendaknya memiliki 3 hal berikut ini :
>         Mencintai sesuatu yang diharapkannya
>         Takut kehilangannya
>         Berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkannya
Karena harapan yang tidak disertai dengan hal-hal diatas disebut angan-angan. Harapan berbeda dengan angan-angan karena orang yang berharap pasti merasa takut.

1.5.  Musyahadah
Dalam perpektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Musyahadah secara bahasa adalha menyaksikan sesuatu, sedangkan secara istilah adalah kelanggengan seseorang dalammelihat al-Haqq dengan mata hati karena kebersihan hatinya melalui tazkiyahal-Nafs, al-ruh, al-asrar.
Terdapat dua macam musyahadah, pertama adalah musyahadah akibat dari iman yang sempurna (sihhah al-yaqin), dan kedua adalah musyahadah akibat cinta yang membara terhadap kekasih.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah yang artinya :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37).
Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata. Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. 
Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan.
>         Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
>         Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan aa pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
>         Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang kokoh.

Posting Komentar untuk "Ahwal dalam Tasawuf"